Sabtu, 10 Desember 2016

-Hati-Hati-Hati-


Lelaki tua, berpakaian serba hitam, berjalan menuju sebuah lorong dengan cahaya terang di ujung. Di sepanjang lorong, terdengar teriakan-teriakan menggema, entah darimana asalnya. Sejenak, ia menghentikan langkahnya.
Teriakan-teriakan itu semakin lama semakin memudar. Hening.
Ia kembali berjalan, langkahnya dipercepat dengan ritme teratur. Wajah itu terus tertunduk, kedua matanya terlihat sayu.
Sampailah ia di ujung lorong, terdapat keramaian di sana. Ia tahu, ia tak boleh melakukan apapun, kecuali hanya melihat, mendengar, dan menyaksikan--mengabaikan kompensasi hati--meski menghadapi situasi terburuk apapun.
Ia memejamkan kedua matanya, kedua matanya terbuka, ia kembali berada di tengah keramaian. Orang-orang berlalu lalang, melintas di depannya. Kini, ia berada di tengah sesaknya para penumpang yang berada di dalam sebuah kereta. Ia hanya bisa menyaksikan ketika seorang pemuda memasukkan tangannya ke dalam sebuah tas perempuan renta, mengambil sebuah dompet usang, kemudian berlalu sesegera mungkin.
'Aku kalah, lagi-lagi aku mengalah dalam ketidakberdayaan. Jika terus seperti ini, maka ...'
***
Lelaki tua itu terus menyusuri jalan, ia terus menyaksikan seluruh kejadian yang terjadi setiap kali ia melintas, tanpa mampu berbuat banyak. Ia baru saja melihat, seorang perempuan dipukul, dihajar, dan ditusuk. Semua itu terjadi ketika ia mengintip melalui sebuah celah di jendela yang hanya menyisakan separuh tirai terbuka, dilihatnya perempuan itu mengerang kesakitan, kedua matanya seolah sedang menatap ke arah lelaki tua--mengharap kebaikan--memohon keselamatan, di mana kematian akan menjemputnya, sesaat lagi. Hening. Hanya geming tak berkesudahan, tersisa dalam diri lelaki tua itu. Ironi kehidupan yang hanya dapat disaksikan, tanpa mampu berbuat apapun, mengabaikan hati.
'Hidup ini seperti tragedi, mereka hanya peduli pada apa yang menjadi kepentingan diri. Mengabaikan hati yang seharusnya ...'
***
Kembali ia berjalan, kini hari mulai beranjak sore. Nampaknya, ia masih belum mendapatkan sebuah jawaban yang dipertanyakan oleh hatinya. Ia masih berusaha mencari, mencari, dan mencari. Begitu banyak kejadian yang dilihatnya sepanjang hari, ia harus kembali, ya, beberapa saat lagi.
Kali ini, seorang ibu muda berdiri di pinggir jalan bersama putrinya yang masih kecil. Kendaraan nampak lalu lalang membisingkan telinga, menyesakkan pandangan, menciptakan keramaian yang membuat jengah. Bukannya memerhatikan gadis kecil yang berada di sampingnya, ia justru sibuk melontarkan kalimat-kalimat tabu pada seseorang yang sedang ditelpon. Sebentar-sebentar ia memaki, mengumpat, membabi--anjingkan--manusia di seberang percakapan. Gadis kecil itu mendekap boneka beruang miliknya sambil melompat-lompat kecil, dirinya tak terpengaruh dengan situasi yang terjadi saat itu.
Lelaki tua itu hanya memerhatikan dengan seksama, pandangannya beralih pada sebuah mobil di ujung terkecil pandangannya, yang sebentar lagi dipastikan akan melintas dengan kecepatan tinggi. Gadis kecil itu terus melompat dan melompat melewati garis aman trotoar. Mobil itu semakin menderu, menambah kecepatan. Tak ada yang tahu, jika yang mengendarainya adalah seorang pemuda yang mabuk, baru saja keluar dari bar beberapa jam yang lalu karena bertengkar dengan kekasihnya.
Semakin mendekat.
Semakin ke tengah.
Semakin tipis jaraknya.
"Awas!"
Mobil itu melintas tanpa menyentuh seujung rambut pun milik gadis kecil itu.
"Kita pulang. Bajingan itu--ayahmu, tak akan pulang malam ini. Ia sibuk dengan perempuan lain. Hey, mana bonekamu?"
"Terlindas."
Sesaat ia menoleh ke belakang, tak ada siapapun di sana.
Lelaki tua itu telah lenyap, kembali menyusuri lorong kegelapan, di mana ia berasal. Lelaki tua itu menghentikan langkahnya dan terdiam sejenak, satu tangannya menyentuh bagian dada. Detak jantung itu memang telah lama hilang, tetapi tidak dengan perasaan yang masih ada di sana, sebuah perasaan yang terkadang ingin ia abaikan.

'Saat mereka acuh terhadap hal-hal yang tak penting, mengabaikan yang seharusnya tidak diabaikan, tak ada lagi kebaikan yang ada hanya keegoisan. Maka, akulah yang harus membuat mereka berhati-hati terhadap hati, karena hati sangat peka, kebajikan ada karena hati.'

Tidak ada komentar:

Posting Komentar